Nye’-konye’ Gunong: Ruang Hidup, Ekosistem Budaya dan Moralitas Manusia Madura
Nye’-konye’ gunong sebuah ungkapan orang Madura yang menyiratkan makna betapa hidup harus dijalani dengan apa adanya dan ikhlas (saduhuna). Tidak berlebihan dan sebagai satu bentuk ungkapan rasa syukur atas kehidupan yang sudah diberikan oleh Allah SWT.
Oleh karenanya Nye’-konye’ gunong menyiratkan keberterimaan serta kesederhanaan hidup. Ya hidup itu harus dijalani, dengan segala kondisi dan tantangannya. Tetapi tidak cukup menjalani, ‘saduhuna’ adalah sebuah keadaan batin, moralitas manusia dalam menerima konsep penciptaan kehidupan.
Nye’-konye’ gunong merupakan dasar, prinsip, dan falsafah, yang dipilih sebagai tematik pada Festival Sapparan Budaya #4 2025 yang diinisiasi Lesbumi PCNU Sumenep, lebih ingin menegaskan posisi jiwa, batin, gheist (ruang dalam, roh) sebagai titik pusat. Justru yang saat ini (seolah) hilang. Tema ini, mencoba mendekatkan kembali jiwa kepada kosmologi hidup; sebuah sistem pengetahuan, pemikiran, sikap dan sebuah ruang hidup yang mendasari seluruh kearifan manusia Madura bekerja.
Hubungan jiwa dan ruang hidup menjadikan manusia berpegang pada moralitas. Ya moralitas hidup yang hari ini telah begitu mahal. Kemudian dari moralitas kita kembali mengerti rute relasi antara manusia dengan yang lain bekerja dan dikerjakan untuk kemudian membentuk ekosistem hidupnya. Festival Sapparan Budaya #4 kali ini membidik gunung sebagai sebuah pola pikir ekosistem ditempatkan dalam nalar kampung.
“Gunong na’-nong bato kaletthak”, sebuah ungkapan yang menunjukkan, jika selama ini, seringkali ‘gunung’ hanya dilihat sebagai etalase kemiskinan dan keterbelakangan, ketertinggalan dan kekolotan hidup (kampungan). Di tengah wacana kemajuan kota dan pembangunan.
Maka penting mempertanyakan ulang konsep gunung sebagai kosmologi kehidupan. Seperti gunung merupakan dunia atas dalam banyak mitologi pewayangan dan spiritual. Lantas bagaimana menempatkan konye’ dan gunung khususnya dalam frase adagium Nye’-konye’ Gunung?
Melihat konye’ sebagai barang kecil yang tersembunyi dalam tanah, tetapi keberadaannya penting, dalam masakan atau bahkan kesehatan dan kecantikan. Ia mampu hadir dan penting dalam posisinya yang di dalam. Dengan aroma dan warna serta manfaat yang jelas dibutuhkan.
Melihat gunung sebagai pasak, fondasi kehidupan dan kemanusiaan sungguh tidak berlebihan. Karena sedari awal kita (Indonesia) tahu secara geografis dikelilingi oleh gunung berapi. Yang secara otomatis membentuk kesadaran gunung sebagai awal mulanya kesadaran hidup.
Saat ini, atas nama pembangunan, gunung dieksplor, ditambang batu, karst, juga gas dan mineral yang ada di dalamnya. Banyak kasus yang menunjukkan betapa gunung akhirnya diratakan dengan tanah, seperti Papua dengan freeport, gunung Kendeng dll. Tidak menutup kemungkinan setelah itu kita.
Gunung sebagaimana juga kampung kita mengalami keterdesakan, semakin dipinggirkan, bahkan mungkin ditinggalkan. Ketidakadilan ekonomi dan tidak meratanya pembangunan, ketimpangan kesejahteraan dan sulitnya akses kepada kesehatan dan pendidikan (formal), masih lemahnya pembangunan sumber daya manusia adalah persoalan utama yang menuntut perhatian (kita semua).
Menimbang hal tersebut di atas, Lesbumi PCNU Sumenep mencoba membuat jalur-jalur alternatif, sebuah ‘gerakan menghidupkan nalar kampung, untuk meretas kemungkinan lain sebagai pendekatan langsung pemajuan dan pengembangan manusia.
Kesadaran ini merupakan sebuah upaya mengetuk dada kita sendiri, dalam rangka membuktikan kembali kesadaran kampung dan gunung, sehingga sikap, pikir dan tindakan kita berangkat dari kesadaran moralitas kemanusiaan. Adalah sebuah ikhtiar mengingatkan kembali spirit kampung sebagai spirit pantang menyerah, survive, mandiri. Dan tentu saja kampung sebagai critical different atas fenomena kota. Kesederhanaan yang membuat kesadaran kita teraktivasikan.
Tentu saja pada akhirnya melalui kesadaran gunung (kampung) kita kembali diajak untuk menengok ruang batin kita untuk kembali membangkitkan kesadaran spiritualitas manusia sehingga terbentuk kearifan hidup; sosial, dan budaya. (*)
Penulis: Mahendra Cipta, seniman dan sutradara Language Theatre Indonesia, serta bergiat di Lesbumi PCNU Sumenep.



