Kurikulum Merdeka di Persimpangan Jalan: Menimbang Rasionalitas Model Tyler dalam Pengembangan Kurikulum Indonesia
oleh: Nur Arifinza Desi Wardana, M.Pd, Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Unesa 2025
LENSAMADURA.COM – Kurikulum di Indonesia terus berubah seiring perjalanan pendidikan nasional. Kita sudah mengenal kurikulum 2006, kurikulum 2013, dan saat ini kurikulum merdeka yang pembelajarannya lebih fleksibel, mandiri, dan kontekstual. Kurikulum merdeka memiliki slogan “merdeka belajar”, sehingga muncul pertanyaan kritis: apakah kurikulum ini benar-benar membebaskan proses belajar, atau justru menghadirkan bentuk ketergantungan baru pada regulasi pusat?
Harapan dari kurikulum merdeka agar guru dapat memilih metode yang tepat dalam memfasilitasi siswa dalam memahami makna belajar dan memberikan keleluasan satuan pendidikan dalam merancang pembelajaran berbasis karakter dan kebutuhan lokal. Tetapi kenyataannya guru masih kesulitan menyusun modul ajar, sekolah belum memahami pelaksanaan proyek penguatan profil pelajar pancasila, serta tidak meratanya sarana digital antara kota dan daerah. Hal ini diperkuat oleh penelitian Latifah (2025) yang menjelaskan bahwa banyak sekolah dasar di Indonesia masih mengalami hambatan dalam penyediaan sarana teknologi, seperti jaringan internet yang tidak stabil, jumlah perangkat komputer yang terbatas, serta kurangnya ruang belajar yang terintegrasi dengan teknologi digital.
Untuk lebih memahami situasi ini secara komprehensif, pendekatan teoritis Model Tyler dapat dijadikan lensa analisis yang relevan. Model ini disebut juga The Tyler Rationale (Ralph W Tyler, 1949), menekankan empat komponen utama dalam pengembangan kurikulum: (1) rumusan tujuan pendidikan yang jelas; (2) pengalaman belajar yang mendukung tercapainya tujuan; (3) pengorganisasian pengalaman belajar agar sistematis; dan (4) evaluasi untuk memastikan pencapaian tujuan. Melalui empat prinsip inilah kita dapat menilai seberapa rasional dan realistis Kurikulum Merdeka diterapkan dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini.
Tujuan Pendidikan: Antara Idealisme dan Kejelasan Operasional
Kurikulum Merdeka dengan Profil Pelajar Pancasila berharap peserta didik yang beriman, mandiri, bernalar kritis, gotong royong, kreatif, dan berkebinekaan global. Secara filosofis, ini adalah sebuah kemajuan dalam mencapai nilai-nilai kemanusiaan sebagai tujuan pendidikan. Namun menurut Tyler, setiap tujuan pendidikan seharusnya dapat diukur menjadi kompetensi yang konkret melalui perilaku belajar peserta didik.
Kenyataannya guru mengalami kesulitan dalam menurunkan tujuan yang bersifat abstrak menjadi indikator. Seperti, bagaimana mengukur nilai “gotong royong” atau “beriman” dalam kegiatan proyek? Banyak guru yang belum memiliki pengalaman terkait pedoman operasional yang jelas, sehingga tujuan luhur hanya sebatas dokumen kurikulum. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara tujuan ideal dengan implementasinya di sekolah. Dalam pandangan Tyler, kegagalan dalam menyusun rumusan dan operasional tujuan akan berpengaruh pada sistem kurikulum berikutnya.
Pengalaman Belajar: Antara Inovasi dan Realitas Lapangan
Salah satu ciri khas kurikulum merdeka yaitu pembelajaran diferensiasi dan proyek berbagai disiplin untuk melatih keterampilan abad 21. Hal ini sejalan dengan pandangan Tyler bahwa pengalaman belajar yang sesuai tuntutan zaman dan bermakna akan mewujudkan tujuan pendidikan. Namun di lapangan guru mengalami kesulitan dalam membuat pembelajaran kontekstual dan menggunakan berbagai metode karena keterbatasan sumber daya manusia dan motivasi dalam menggunakan teknologi. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Subadre (2023) yang menjelaskan sebagian besar guru belum memiliki komitmen dalam menggunakan teknologi informasi secara optimal yang dapat meningkatkan kompetensi dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan.
Organisasi Kurikulum: Fleksibilitas yang Belum Terstruktur
Model Tyler menjelaskan organisasi pengalaman belajar yang berkesinambungan dan logis dalam menyusun materi dengan memperhatikan urutan, kontinuitas, dan keterpaduan. Dalam kurikulm merdeka memberikan kebebasan pada sekolah penyusunan ATP dan modul ajar sehingga membingungkan.
Contohnya guru hanya mencontoh modul dari PMM tanpa disesuaikan dengan kondisi siswa sehingga kurikulum kehilangan struktur dan arah pembelajaran yang sesuai. Dalam perspektif Tyler organisasi kurikulum yang lemah akan membuat pengalaman belajar yang kacau dan tidak berkesinambungan. Keleluasan tanpa adanya pedoman konseptual akan menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan antara kota dan desa.
Evaluasi: Asesmen yang Rumit dan Tidak Seragam
Menurut Tyler, tahap evaluasi memiliki peranan penting untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan. Hasil evaluasi ini mengukur hasil dan umpan balik dalam memperbaiki kurikulum. Dalam kurikulum merdeka mengenal penilaian autentik yaitu penilaian diagnostik serta penilaian proyek yang mana ini sesuai dengan prinsip evaluasi formatif Tyler.
Fakta di lapangan evaluasi hanya sebatas beban administratif. Guru belum membuat instrumen penilaian yang valid dan reliabel tetapi hanya mengikuti petunjuk pusat sehingga penilaian formalitas. Seharusnya menurut Tyler evaluasi sebagai alat ukur keberhasilan dalam sistem pembelajaran.
Konteks Implementasi: Guru sebagai Titik Lemah Reformasi
Implementasi kurikulum akan berhasil tergantung manusia yaitu guru. Guru belum memahami sepenuhnya kurikulum merdeka sehingga pelaksanaanya hanya formalitas saja, seperti yang disampaikan oleh suyanto (2020) sebagian guru masih nyaman dengan metode konvensional.
Menurut pandangan Tyler, kurikulum akan efektif bilamana guru mengerti tujuan dan makna setiap komponen pembelajaran. Tentunya pelatihan berkelanjutan dan sistem pendampingan perlu ditingkatkan sehingga profesionalisme guru akan berhasil namun belum maksimal karena Kemendikbud (2022) menyampaikan minimnya pelatihan dan pendampingan program peningkatan kapasitas guru belum menjangkau semua wilayah.
Sarana dan prasarana antarwilayah masih mengalami ketimpangan. Sekolah dengan fasilitas teknologi dapat mengimplementasikan pembelajaran digital bertolak belakang di daerah pinggiran bahkan terpencil penyediaan bahan ajar masih terbatas. Hal ini sesuai dengan badan pusat statistik (2023) Keterbatasan sarana prasarana akses internet, komputer dan perangkat digital di sekolah belum merata. Dalam konteks Tyler, ini menggambarkan adanya ketidak seimbangan antara tujuan nasional dan realitas sosial sehingga hasil belajar terhambat.
Refleksi Kritis: Menghidupkan Kembali Rasionalitas Kurikulum
Berdasarkan berbagai problematika tersebut menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum merdeka belum memenuhi prinsip rasionalitas Tyler. Tujuan pendidikan masih terlalu luas tanpa indikator konkret, pengalaman belajar belum kontekstual, organisasi kurikulum belum terstruktur, dan evaluasi belum menjadi alat refleksi yang efektif.
Kurikulum yang baik itu memfasilitasi pembelajaran yang kontekstual sesuai kehidupan sehari-hari yang dirancang bersama guru bukan sekedar dokumen administrasi. Dalam hal ini, Indonesia perlu membangun sistem berkelanjutan bukan sekedar mengganti format.
Ingat kurikulum bukan tujuan akhir seperti yang disampaikan oleh Tyler tetapi memiliki tujuan yang lebih besar yaitu perilaku, cara berpikir, dan nilai yang dimiliki peserta didik. Artinya kebijakan pendidikan tidak hanya sekedar dokumen tetapi diharapkan adanya ekosistem pembelajaran yang sehat, guru yang berdaya, dan evaluasi yang reflektif.
Penutup
Dalam bingkai Model Tyler, kurikulum merdeka masih memerlukan penelaahan secara mendalam agar tidak hanya sekedar teori saja, tetapi juga rasional dan fungsional dalam praktik. Kelemahan pada aspek perumusan tujuan, pengalaman belajar, organisasi isi, dan evaluasi perlu segera dibenahi melalui penguatan kapasitas guru, pemerataan infrastruktur, dan keberlanjutan kebijakan.
Reformasi kurikulum akan terwujud jika ada perubahan paradigma yaitu guru memahami makna kemerdekaan belajar, siswa menemukan relevansi belajar, dan masyarakat terlibat dalam pendidikan, barulah Kurikulum Merdeka benar-benar hidup sesuai namanya membebaskan pikiran, membangun karakter, dan menumbuhkan manusia Indonesia seutuhnya. ***



