Oleh: Moh. Busri*
Setiap organisasi, pasti memiliki cita-cita besar untuk dituju. Utamanya dalam menciptakan tatanan sosial yang lebih baik. Maka dari itu, setiap anggota atau kader yang bergabung di dalamnya wajib memiliki idealisme. Paling tidak sebagai pegangan bagi dirinya saat terjun langsung pada kehidupan sosial yang sesungguhnya.
Pada dasarnya, idealisme tidak akan tumbuh begitu saja. Tapa adanya kesadaran mendalam dari dalam setiap diri manusia. Oleh karena hal tersebut, tentu dinilai sangat penting untuk dilakukan indoktrinasi terhadap anggota baru.
Perihal demikian, sistem kaderisasi yang ada di Pergerakan Mahasiswa Islam Indoneisa (PMII) tidak perlu diragukan lagi. Sedikitnya, organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia ini memiliki tiga macam bentuk kaderisasi. Yaitu kaderisasi formal, non formal, dan informal.
Dalam setiap jenjang kaderisasi formal PMII, memiliki tujuan dan maksud masing-masing. Khususnya dalam hal mencetak idealisme serta karakter kader. Sebut saja dari bawah ada diklat masa penerimaan anggota baru (Mapaba). Tujuan utama yang ingin dicapai dalam kaderisasi ini adalah membentuk kader mu’taqid, yaitu kader yang berkeyakinan penuh terhadap tugas suci dan mulia yang ada di PMII.
Selanjutnya masih ada kaderisasi formal berupa pelatihan kader dasar (PKD). Doktrinasi yang ditanamkan pada tingkatan ini tidak lagi soal pemantapan keyakinan. Akan tetapi sudah berupaya mendidik kader mujahid alias kader pejuang. Maksudnya, pada tingkatan tersebut, kader PMII dituntut untuk sadar pada persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya. Kemudian melalui sebatas pengetahuan yang dimiliki, harus terus memperjuangkan keadilan.
Kaderisasi formal ketiga yakni pelatihan kader lanjut (PKL). Untuk tingkatan ini, kader PMII yang sudah semakin dewasa itu, diupayakan sekeras mungkin agar bisa menjadi kader mujtahid. Yakni mampu memiliki dan menyadari kemampuannya dalam bidang keilmuan tertentu. Sehingga dapat difungsikan untuk menebar manfaat bagi seluruh alam semesta. Sebagaimana hal demikian telah dicita-citakan dalam Agama Islam untuk bisa memberikan rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam (Islam rahmatan lil ‘alamin).
Jika beberapa hal tersebut benar-benar mampu tertanam mendalam pada diri setiap kader, tentu eksistensi PMII masa kini akan semakin baik. Dinamika perubahan zaman yang terus mengalami perkembangan, tidak akan gugup untuk dihadapi. Sebab sejatinya, kader PMII memang selalu didoktrin agar mampu menyesuaikan diri terhadap segala kondisi.
Dilepas ke hutan akan menjadi harimau, dilepas ke laut akan menjadi ikan, dan dilepas ke udara akan menjadi elang. Begitu kira-kira pesan yang selalu dititipkan pada seluruh kader PMII. Namun, entah mengapa sampai sekarang mimpi besar demikian belum mampu terlihat secara pasti.
Bukan lantas keberadaan PMII dianggap gagal. Tapi mungkin masih memerlukan refleksi mendalam pada setiap doktrinasi yang dilakukan di semua jenjang kaderisasi. Tidak terkecuali untuk kaderisasi formal, non formal, serta informal.
Patut diakui, bahwa belakangan ini sangat banyak kritik yang mengarah pada PMII. Sebagian besar selalu mempertanyakan peranan yang dilakukan. Sehingga secara tidak langsung, idealisme yang sudah dari awal ditanamkan seolah kering tak subur.
Ada satu persoalan yang sampai sekarang masih terus terjadi dalam tubuh organisasi ini. Bahkan akibat adanya problematika tersebut, sistem keorganisasian PMII menjadi terhegemoni secara tidak langsung. Hal demikian adalah sistem struktural yang minim mengandung substansi asas demokrasi. Kemudian selanjutnya adanya pengaruh paternalisme.
Sllogan yang mengatakan bahwa ketidakpatuhan terhadap pimpinan organisasi adalah bentuk pengkhianatan, kini seakan telah keluar dari jalur sebenarnya. Bagaimana tidak, sedangkan seringkali suara yang datang dari kader bawah sangat jarang dijadikan bahan pertimbangan. Alasannya, mereka dianggap kurang paham terhadap konflik sosial yang terjadi. Bahkan dengan tidak langsung, yang lebih senior memiliki otoritas lebih berpengaruh dibandingkan yang lain.
Itu masih belum seberapa. Sebab jika hanya terjadi di internal organisasi paling tidak pengaruhnya belum begitu besar. Namun ironisnya, setingkat pengurus masih ada yang memengaruhi. Baik di tataran pengurus rayon (PK), pengurus komisariat (PK), bahkan juga pengurus cabang (PK). Atau bisa jadi di tingkat pengurus koordinator cabang (PKC) dan pengurus besar (PB) juga sama seperti itu.
Sehingga kemudian, keleluasaan PMII secara kelembagaan sangat sulit melakukan kontrol ke berbagai arah. Padahal sejatinya, pedoman gerakan kader PMII bukanlah suara dari langit. Melainkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Jika sudah jelas keluar dari prinsip nilai kemanusiaan maka seharusnya sangat penting untuk dilakukan pengawalan.
Tidak perlu terlalu rumit. Cukup lakukan saja suatu hal yang manfaatnya lebih besar dampaknya terhadap sosial secara luas. Bukan lantas bagi kelompok tertentu. Namun sayangnya, manusia hari ini terlalu lena pada keuntungan materiil sepihak. Sehingga tertarik untuk melakukan berbagai macam hal yang dapat membuahkan manis bagi dirinya.
Maka jangan heran jika eksistensi PMII masih dipertanyakan keberadaanya. Sebab yang ada belum tentu memiliki kuasa untuk memberikan legitimasi terhadap keberadaanya sendiri. Terakhir, tulisan ini hanya sekadar serpihan perenungan yang ditemukan pada ampas kopi di sebuah warung tempat tongkrongan kader dan senior yang saling berniaga kesepakatan. Harap maklum, salam pergerakan.
*Penulis adalah mahasiswa dan kader PMII STKIP PGRI Sumenep. Lahir di Dusun Barat Gunung, Desa Matanair, Kecamatan Rubaru, Sumenep.