SUMENEP, lensamadura.com – Penyidik Polres Sumenep telah melimpahkan berkas kasus 5 oknum perangkat Desa Badur, Batuputih, yang menjadi tersangka pengrusakan lahan milik warganya sendiri ke Kejari setempat. Namun, hingga kini belum disidang.
Pasalnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep mengembalikan berkas atau P19 kepada penyidik setempat, karena dinilai berkas masih belum lengkap.
“Kasus tersebut P19, dan hari Jumat (besok) akan diserahkan kembali ke kejaksaan,” kata Kasi Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti, kepada Lensa Madura, Rabu, 20 November 2024.
Menanggapi hal itu, salah satu praktisi hukum, Endiyono Raharjo, turut angkat bicara. Dia memaparkan bahwa P19 merupakan kode dalam berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi.
“Dalam artian, kejaksaan menilai berkas perkara tersebut kurang memenuhi unsur pidana. Padahal kasus itu menyangkut perkara pidana, yaitu pengrusakan tanaman,” kata Endiyono Raharjo dalam keterangan yang diterima Lensa Madura.
Tak tanggung, dia menilai adanya P19 tersebut memunculkan kesan negatif dalam memeroses berkas kasus tersebut. “Padahal, kasus pengrusakan tanaman yang dilakukan bersama-sama masuk pasal 170 ayat (1) KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang,” jelasnya.
Lebih lanjut, Endiyono menegaskan, dalam proses penyidikan 5 orang tersangka itu sempat melakukan upaya praperadilan di PN Sumenep atas status tersangka mereka. Hasilnya, putusan hakim dimenangkan penyidik Polres Sumenep.
“Kesimpulannya, putusan hakim jelas menyatakan perkara tersebut adalah pidana. Setelah berkas dirasa lengkap oleh penyidik, selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sumenep, dan Teddy Romius yang menangani perkara tersebut,” ujarnya.
Dia menegaskan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sumenep dalam hal ini Teddy Romius, dalam petunjuknya meminta tambahan keterangan saksi yaitu Badan Pertanahan Nasional Sumenep, dan dinas pendapatan. “Padahal status tanah masih belum bersertifikat,” kata Endiyono.
“Dalam petunjuknya, jelas mengarahkan perkara tersebut ke perdata, secara tidak langsung petunjuk jaksa tidak relevan, ada upaya penghentian penyidikan,” tudingnya.
Sedangkan terkait status tanah kas desa (pecaton) yang diklaim Kepala Desa Badur, jaksa menilai tidak terkait dengan perkara pidana pengrusakan.
“Dalam perkara ini bukan masalah klaim atas status tanah, akan tetapi penyidik telah menjerat pelaku atas perbuatan pengrusakan tanaman milik korban,” tegasnya.
Endiyono menegaskan, korban yakni H Nawawi, memiliki bukti konkrit atas lahan tersebut serta tanah sudah dikuasai secara perorangan dari tangan ke tangan dalam beberapa puluh tahun ke belakang.
“Sedangkan bukti yang diklaim sebagai tanah kas desa muncul pada tahun 2022 dengan hanya berdasarkan SPPT, dan SPPT PBB. Bukan bukti kepemilikan hak tanah,” terangnya.
Dia menyampaikan, dalam kasus tersebut status tanah tidak menjadi objek dalam perkara itu, tapi yang perlu diperhatikan yakni ada unsur pengrusakan. Dimana ada barang yang dirusak, ada korban, ada pelaku. “Ini sudah jelas masuk perkara pidana, apalagi korban mempunyai bukti-bukti yang konkrit dan saksi-saksi,” tambahnya.
“Mulai dari korban sudah mengusai lahan selama 4 tahun, saksi yang menggarap atau mengolah tanah sawah, saksi yang menanam benih padi, dan saksi dari dinas pertanian yang menyatakan benar-benar benih padi milik korban yang dirusak,” tandasnya.