Artikel

Tembakau di Bawah Langit Tak Menentu

58
×

Tembakau di Bawah Langit Tak Menentu

Sebarkan artikel ini
Cuaca hujan estetik. LENSAMADURA/Open AI

oleh: M. Faizi, petani dan jurnalis Serikat News

LENSAMADURA.COM – Tulisan ini sengaja saya sengaja hadirkan di ruang publik. Bukan sekadar catatan harian tapi lebih sebagai isyarat batin tentang kegelisahan para petani tembakau di tengah musim yang tak bisa lagi dipegang pakemnya.

Juli yang biasanya jadi tonggak penanaman tembakau, kini berubah menjadi bulan penuh ragu. Awan terlalu sering mendung. Matahari hanya lewat sejenak lalu lenyap di balik awan yang murung. Cuaca seperti tak lagi punya janji.

Di desa saya, Bragung, kegamangan itu nyata terasa. Beberapa petani masih menimbang-nimbang. Melangkah ke ladang pun terasa berat. Tanah kering belum tentu benar-benar siap. Langit biru belum tentu bersahabat lama. Mereka masih menyimpan trauma: musim tanam yang berujung gagal panen karena hujan tak kunjung reda tapi mereka juga sadar: diam bukan solusi.

Namun di sisi lain, ada pula petani yang memilih melawan keraguan. Bagi mereka, menanam tembakau bukan semata urusan ekonomi. Ia adalah budaya bahkan semacam ibadah tahunan.

“Mun tak namen pekoh cong, beremma jet lah depak ka gilir enah. Urusen palang pojur areah urusen Pangeran. Se penting kita tetap berusaha dan berdoa semaksimal mungkin,” ujar seorang petani, dengan pandangan yang menembus batas ladang dan langit.

Dalam kalimat sederhana itu, terkandung filosofi yang telah lama diwariskan: manusia hanya bisa berikhtiar selebihnya biar Tuhan yang menentukan.

Tembakau di Madura bukan sekadar komoditas. Ia adalah harapan yang dikeringkan di bawah panas matahari. Ia adalah kerja keras yang dibungkus daun demi daun. Ia juga adalah doa yang dikirimkan bersama asap.

Meski langit tak lagi menentu, sebagian petani tetap menanam tembakau. Bukan karena mereka nekat tapi karena mereka tak bisa hidup tanpa harapan. Ini adalah bentuk kecil dari perlawanan terhadap ketidakpastian. Perlawanan yang tak pernah muncul di layar televisi tapi setiap hari berlangsung di ladang-ladang sunyi.

Mengutip pernyataan Prof. Didik Suprayogo, guru besar Universitas Brawijaya bahwa Petani adalah penjaga urat nadi negeri. Bila mereka menyerah, kita kehilangan banyak hal bukan hanya hasil panen tapi juga martabat kemandirian.

Dan kami, petani tembakau masih percaya pada itu. Kami hanya berharap: Pemerintah Daerah dan pabrikan lokal tidak tinggal diam. Stabilitas harga perlu diperjuangkan kembali seperti tahun-tahun lalu. Jangan biarkan harga menjadi hukuman bagi kami yang sudah cukup dipukul oleh cuaca.

Tembakau bukan hanya soal panen. Ia tentang harapan yang tumbuh di tanah yang retak di bawah langit yang murung. Harapan itu tidak boleh dibiarkan sendirian. Ia perlu ditemani, dijaga dan dihargai. Sama seperti para petani yang menanamnya: diam-diam tapi penuh arti. (*)