Puisi Umar Faruq Sumandar: Pelabuhan Pasongsongan, Salopeng, Selendang Benang Merah Lombang
Berikut kami terbitkan tiga puisi Umar Faruq Sumandar. Masing-masing berjudul Pelabuhan Pasongsongan, Salopèng, dan Selendang Benang Merah Lombang.
Pelabuhan Pasongsongan
:teringat Abdul Hadi WM
melewati gang-gang rumah pecinan
kau, yang mula-mula dan terlupa, kudatangi
ketika pagi menggiring matahari, lebih rapat
dengan hasrat, dengan untai
janur pukat. dan keriap laut
telah keruh dan pucat
disesaki riuh perahu tambat
sekembali dari menjala semalam
sesekali, mungkin sambil bergumam
“selamat tinggal segala hal
yang makin mendekat pada ajal”
jadi lebih kugali-gali diri
barangkali tersangkut serpih puisi
di balik putih buih
di sela kembang karang
di celah timbunan balok coran
sebablah keras badai sepi
tiba-tiba ada yang menggenang hangat
saat anak angin kenangan merambat
berkesuir pengembaraan timur dan barat
menemu sajak Iqbal mengurai rubaiyat
maka kuucap salam
pada cerlang wajah pelabuhan
amis ikan, aroma khas pemukiman pantai
bila orang bisa pulang juga mudah pergi
maka setiap debar dan denyar mimpi
di atas gelombang akan abadi
di depan rumahmu
kuucapkan salam lagi
masihkah laut mengajak bercakap
di kala senja, di malam buta
sebagai bukti percintaan biasa
pada sudut serambi berdiam guci china
roh sepasang naga keluar dari mulutnya
meliuk dan meliliti bonsai cemara
sebelum lesap naik ke angkasa
sedang pigura, keramik dan ubin lantai
menyimpan buram ornamen semak dan bunga
mungkin Persia mungkin Jawa
tak ada jawaban pasti
hanya tempias hempas udara
pada sudut kusam plafon
dan samar kecap cecak, berbaur
dengan denting tabung gas tiga kiloan
beberapa saat setelah kubalikkan badan
sudahkah kau dapat jawaban pasti
kapan pelarian atau ekspedisi tiba di sini
sampai rahasia perantauan pertamamu
dilarung bersama kisah leluhur
dengan doa, setanggi, juga rasa sangsi
13 April 2025
Salopèng
di hadapan linang tatapan
sebelum kita pulang
iringan galau gelombang
makin gelisah datang
mendesir perih kisah
lengkingan tembang Mahwani
digulung abadi berahi pesisir
diperam sisa gumuk pasir
dibisikkan desah gesekan sampir
disayat runcing cemara udang
diangkat satu tangan raksasa
ke angkasa amis tuba
laut sekarang menjelma
setalam agar-agar jingga
menyesap siluet tampah api
“bila nanti warna ombak tak lagi milik kita
tapi selamanya kita jadi miliknya”
sempat kau bertanya
segala yang biru
di bawah doa ibu
dapatkah menjaga rumah
tak dilantak prahara air-tanah
sesampai di ranjang malam
mungkin akan kita simak
ringkih ringkik zikir kuda
mau lepas dari kekangnya
Oktober, 2018
*Mahwani adalah seorang legenda penghibur paling ternama dalam kesenian Tandak dan Kèjung asal Desa Salopèng, Sumenep.
Selendang Benang Merah Lombang
entah Minggu atau Selasa
sama saja
kalau kau turut ayah
ke ujung timur Madura
(bukan lanskap kosmopolita
sudah tidak pula seutuhnya desa)
janganlah hendak naik delman istimewa
karena kereta kuda
lama sudah dipajangkan di museum kota
bersama segenap tuah pusaka
dijamas hasrat-kembang-pariwisata
hari Sabtu atau Selasa
kalau suka boleh dicoba
berliburlah anak ke bagian tenggara
tempat garam merindu, dendam menjelma
lalu terserah mau lanjut ke mana
ke timur laut juga bisa
melintasi jalan raya
yang tambah lebar dan mulusnya
kiri kanan tanah bekas wedana
entah siapa lagi kan punya
di beberapa tepi kelokannya
ada kedai kopi dibuka
oleh pemuda dan sarjana
yang hanya punya cinta
sedikit punya ilmu fakir cara
bagaimana mengelola tanahnya
bila sampai di Pantai Lombang
pakailah headset pasang telinga
dengarlah dangdut Gadis Malaysia
cengkok dan irama duhai merdunya
namun pohon Cemara Udang
ilham bagi Yus Yunus kondang
tumbang ditebang capit tambak udang
bau khas air-udara lautan
diganti sengak limbah pembuangan
hari Jumat atau hari apa saja
silahkan semua menangis didera kecewa
Agustus 2023
Umar Faqur Sumandar, lahir di Sumenep, Madura. Menulis puisi dan prosa. Kini aktif di Lesbumi PCNU Sumenep, dan Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alama (FNKSDA) Sumenep.

