oleh: Jufri Zaituna*
Di suatu pagi berkabut tipis menyelimuti jalanan aspal berlubang, aku membayangkan seekor anjing menjilati tuannya. Ia tidak menggonggong. Ia tidak menyalak. Ia hanya mengibas-ngibaskan ekornya, lalu merapatkan tubuh ke kaki tuannya. Mungkin ia lapar. Mungkin ia sekadar ingin dipeluk. Atau, bisa jadi ia tak mengenal lagi hidup tanpa tuan.
Puisi—yang dulu lahir dari kegelisahan, dari keresahan sosial, dari denyut kemanusiaan yang retak—kini banyak yang tumbuh di taman-taman yang terlalu terawat. Kata-kata dipoles, penuh macam-macam bunga surga, lalu dibacakan di depan meja-meja prasmanan, di tugu-tugu yang mengatasnamakan penghargaan budaya dan para leluhur. Dalam festival-festival kebudayaan, puisi seolah dirayakan, tapi sekaligus ditidurkan di atas kasur beraroma parfum oligarki. Lalu dibungkam dengan aplaus yang tak pernah menuntut perubahan.
Mungkin penyair pun, seperti seekor anjing tua, lelah dengan pertarungan alam liar di jalanan, di pinggiran persawahan melihat petani-petani banting tulang memeras keringat kuning, PHK massal, bantuan pemerintah tidak tepat sasaran, mahalnya biaya pertanian, politik uang, rusaknya generasi muda karena pergaulan bebas dan lapangan pekerjaan yang kurang menjanjikan. Penyair ingin rehat. Ia ingin berkompromi dengan hidup yang selalu bergejolak. Ia ingin bertahan. Namun pada akhirnya pemberontakan pun bisa dijinakkan.
Tapi aku tak pernah lupa dengan puisi Chairil:
“Aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang…”
Begitulah bait itu, pada zamannya, bukan sekadar deklarasi. Ia adalah penolakan terhadap sistem, terhadap kolonialisme, terhadap lembaga-lembaga yang membekukan hidup menjadi kepatuhan. Chairil menulis dari tempat di mana bahasa tidak bisa lagi dipakai untuk memuja, tapi harus untuk menggugat. Sangat berbeda dengan yang dijuluki Chairil Anwar-nya Madura.
Hari ini, bait itu dibacakan dan diajarkan di kelas. Tapi bait itu telah kehilangan amarahnya. Ada yang berubah. Bukan pada puisi, tapi pada bagaimana puisi itu dihidupkan. Ia tak lagi ditulis untuk menyuarakan, melainkan untuk disalurkan. Ia menjadi bagian dari program kerja, dari “indeks literasi”, dari dokumen “kebijakan kebudayaan”. Kata-kata kehilangan daya guncangnya.
Kita akan menyaksikan lahirnya apa yang bisa disebut penyair kebudayaan resmi—mereka yang hadir sebagai pelengkap, bukan pengusik. Mereka tak lagi berdiri di luar. Mereka hadir di panggung, dengan undangan resmi, dan honorarium yang layak.
Mungkin ia belum mati. Mungkin ia sedang menepi. Ia bersembunyi di catatan-catatan kecil, di lorong media sosial, di ruang-ruang yang tidak punya pendanaan. Ia hadir dalam bentuk lain: obrolan, sindiran, poster yang dibuat buru-buru, atau coretan yang tidak dimuat di koran.
Mungkin puisi sedang mencari bentuk barunya. Bukan sebagai pertunjukan, tapi sebagai isyarat. Bukan sebagai perayaan, tapi sebagai tanda bahaya.
Kita pernah punya penyair yang menolak dijinakkan: Wiji Thukul, Rendra, dan juga Chairil. Mereka tak menulis untuk mendapat PANGGUNG, tapi untuk menolak diam. Hari ini, mereka dipuja, bahkan oleh institusi yang dulu mereka lawan. Puisi mereka dibacakan dengan suara pelan, di depan pejabat yang tidak membaca konteksnya. Dan pelukan mesra seorang pejabat, seringkali, adalah bentuk penjinakan paling lembut.
Mungkin yang kita butuhkan bukan puisi yang keras, tapi yang jujur membaca tanda-tanda kerusakan sistem birokrasi, penjilat-penjilat proyek yang merugikan rakyat kecil. Bukan penyair yang lantang, tapi berani menentang kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir kelompok saja. Karena hanya dari sana, puisi bisa menemukan dirinya kembali: bukan dalam gemuruh tepuk tangan, di tugu-tugu, tapi dalam suara sunyi, yang menggema jauh di dalam kesadaran. (*)
*Jufri Zaituna, penyair tinggal di Sumenep. Buku pertamanya yang telah terbit Dalam Bingkai Dunia (Ganding Pustaka, 2022)