![]() |
Penulis, Suryadi Ketua LPMK Sumenep |
Desa adalah bagian terkecil dalam tata kelola administrasi Negara di Indonesia, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan kemudian desa. Layaknya sebuah wilayah, desa mempunyai wilayah teritorial sendiri dan seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyatnya melalui Pilkades. Dan bicara tentang desa, tidak akan pernah ada habisnya, karena keberadaan desa sudah ada bahkan sebelum Negara ini merdeka.
Menurut UU nomor 6 tahun 2014 Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan melalui UU nomor 6 tahun 2014 inilah kemudian juga tercetus program pemerintah pusat untuk membiyai pembangunan desa melalui Dana Desa (DD).
Harapannya jelas, melalui dana desa tersebut desa dapat membiayai pembangunannya sendiri sehingga tercipta desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Untuk mencapai tujuan tersebut Ada tiga sisi program yang dapat di alokasikan melalui dana desa, yakni bidang pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan. Tiga hal tersebut menjadi prioritas pemerintah dalam memajukan desa sehingga mampu menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Yang paling revolusioner menurut penulis dalam UU Desa tersebut adalah diharuskannya desa untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa (BumDes). Hal ini membuktikan bahwa pemerintah pusat serius dalam misinya. Yakni ingin menciptakan desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Bukan hanya difasilitasi dengan kucuran dana yang besar namun juga diminta untuk berusaha mandiri menciptakan pendapatan sendiri.
Namun apa yang terjadi, benarkah melalui DD pemerintah desa mampu membangun desanya menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis? Apakah masyarakatnya sudah makmur dan sejahtera? Atau jangan-jangan malah sebaliknya, DD dikorupsi untuk kepentingan pribadi dan kelompok? Ya, meski ada beberapa desa yang sukses membangun desanya melalui DD namun itu hanya sekian persen dari keseluruhan jumlah desa yang ada di Indonesia.
Perlu diketahui, dana desa yang dikucurkan oleh pusat dari tahun ke tahun angkanya terus meningkat. Melalui dana tersebut setidaknya pemerintah mentargetkan terciptanya 2.000 desa mandiri dan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang. Dari tahun ke tahun angka DD dari pusat yaitu, 2015 sebesar 20,67 triliun, 2016 sebesar 46,98 triliun, 2017-2018 sebesar 60 triliun, 2019 sebesar 73 triliun.
Faktanya, dari total 74.794 desa pada tahun 2018 jumlah desa maju 6,92%, desa berkembang 43,83% dan desa tertingal hanya 9,6%. Namun untuk desa mandiri masih jauh dari kata harapan, pada tahun 2018 desa mandiri hanya berjumlah 313. Masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus di selesaikan oleh pemerintah untuk mencapat target menuju desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis.
Ada beberapa catatan penting dalam pembangunan desa sehingga pogresnya masih berjalan lambat, dan ini jadi hal yang urgen sekali jika berbicara tentang Desa.
Pertama, Kepemimpinan. Kepemimpinan di desa mayoritas masih bersifat monarki, paternalistic dan meng-hegemoni. Hampir semua keputusan desa ada di tangan kepala desa, sistem Musdes terkadang hanyalah formalitas yang dilaksanakan untuk melengkapi sebuah persyaratan dan dokumentasi saja. Perangkat di bawahnya atau bahkan BPD terkadang juga tidak mempunyai peran yang vital dalam pemerintahan, meski tugas dan wewenangnya sudah sangat jelas dalam berbagai kitab UU pusat dan daerah.
Kedua, sistem pemerintah terpusat dan tertutup. Meski saat ini kita sudah masuk pada era reformasi-demokrasi, transparansi dan akutabilitas publik serta era digital. Namun masih sedikit pemerintah desa yang mempraktikkan sistem tersebut. Realitasnya sistem yang dipakai adalah demokrasi terpimpin dan tertutup. Kepala desa masih memegang penuh 100% hak otoritas kepemimpinan di desa.
Ketiga, miskin ide dan gagasan. Setiap pembangunan, perubahan, kemajuan, dan kemadirian pasti berdiri di atas sebuah ide dan gagasan. Tanpanya akan sangat mustahil sebuah perubahan akan tercipta. Penulis pernah mendengar istilah “kalau hasilnya (untung) sedikit maka program itu tidak akan dilaksanakan”. Ini menjadi bukti bahwa pembangunan di desa dilaksanakan atas dasar untung rugi secara finansial bagi para pemangkunya, bukan atas dasar ide dan gagasan yang tentu akan mengedepankan asas mamfaat dan kemajuan. Seperti yang kita bisa lihat sendiri, banyak desa yang setiap tahun programnya hanya berkutat pada fisik saja. Sementara sektor pemberdayaan dan BumDes sangat jarang sekali di sentuh.
Keempat, tumpulnya sistem demokrasi desa. Hal ini terlihat nyata saat pesta demokrasi di desa atau Pilkades. Tidak adanya pengawas independen dalam proses tahapan Pilkades memunculkan berbagai tindakan yang tidak hanya mencederai sistem demokrasi namun juga memunculkan kran konflik baru yang berkepanjangan. Seperti money politik, propaganda, kecurangan sistem terjadi dan dipraktikkan secara terbuka saat tahapan Pilkades berlangsung.
Kelima adalah lemahnya pengawasan dan impeachment. Terkadang desa hanyalah menjadi alat dan strategi politik yang jitu bagi para politisi yang ada di atasnya. Oleh karenanya, tidak jarang Kades yang kuat secara politik akan dirawat dan dilindungi meski dari sisi prestasi di pemerintahan tidak ada. Jadi jangan heran jika banyaknya problematika yang terjadi di desa tidak akan pernah mampu dan bisa diselesaikan.
Beberapa poin di atas memang serasa masih kurang jika membahas tentang problem pembangunan di desa. Di otak kita serasa masih menggunung beberapa problem yang seakan tidak pernah terpecahkan. Namun apapun itu, untuk mencapai cita-cita pembangunan kita harus bersama-sama mengambil peran dan posisi yang tepat. Jangan justru saling menyalahkan yang endingnya akan menciptakan perpecahan dan malah menghambat pembangunan yang ada. (**)