Indonesiaku, Jangan Lagi Berdarah
oleh: Mariyatul Humaira*
LENSAMADURA.COM – Indonesia hari ini sedang diuji. Demonstrasi yang awalnya digelar untuk menyuarakan aspirasi, kini melebar menjadi kerusuhan. Penjarahan, pembakaran kantor DPR di berbagai daerah, hingga jatuhnya korban jiwa, seolah menjadi potret getir dari wajah demokrasi kita.
Nyawa orang-orang yang tidak bersalah kembali terenggut, hanya karena arogansi dan ego yang tidak pernah mau dikalahkan.
Di tengah situasi ini, sebagian masyarakat memilih saling menjaga. Mereka berjaga malam di kampung, di pasar, atau di gang-gang kecil, demi memastikan tidak ada orang luar yang merusak ketenangan.
Ada rasa khawatir yang sama: jangan sampai rumah, lingkungan, bahkan hidup kita ikut dirampas oleh amarah yang buta arah.
Lalu, siapa yang salah? Pertanyaan ini selalu menggantung. Jika ditarik benang merah, yang salah adalah mereka yang tidak pernah benar-benar ingin bangsa ini tumbuh, elit politik yang lebih sibuk mempertahankan kursinya daripada mendengar jeritan rakyat. Kita seperti dipaksa menonton pertunjukan kekuasaan, sementara panggungnya dipenuhi api yang membakar negeri sendiri.
Namun, sahabat-sahabatku, kita juga perlu menenangkan diri. Demonstrasi boleh, menyuarakan hati nurani adalah hak. Tetapi jangan sampai kita kehilangan akal sehat, apalagi kemanusiaan. Jangan sampai yang kita korbankan justru saudara kita sendiri, bahkan mungkin diri kita sendiri.
Sejarah bangsa ini sudah berkali-kali mengajarkan. Kita pernah melewati kerusuhan 1998, ketika api kemarahan menelan begitu banyak nyawa. Kita pernah merasakan pahitnya perpecahan, yang hanya meninggalkan luka panjang di hati rakyat kecil. Pertanyaannya, apakah kita mau mengulang luka itu lagi?
Yang paling menyayat hati, sering kali korban justru mereka yang tidak tahu-menahu soal demonstrasi. Mobil milik masyarakat yang diparkir di pinggir jalan ikut terbakar. Sepeda motor warga sipil yang sehari-hari dipakai untuk bekerja hangus tak tersisa. Bahkan ada ibu-ibu yang sedang bekerja, tasnya ikut terbakar bersama laptop di dalamnya, hilang semua hasil jerih payah yang dikumpulkan bertahun-tahun.
Mereka adalah rakyat kecil, sama-sama punya harapan agar hidup lebih layak, sama-sama punya mimpi agar anak-anaknya bisa sekolah. Bedanya, mereka tidak turun ke jalan, tapi malah menjadi korban. Inilah ironi yang selalu berulang: rakyat kecil jadi tumbal, sementara nama mereka bahkan jarang disebut.
Kami percaya, bahwa apa yang dilakukan aksi demonstrasi selalu dimulai dengan damai. Yang tidak kami percayai adalah politik elit yang membayar oknum untuk membenturkan keadaan.
Dari sinilah pola itu terlihat jelas. Setiap kali rakyat bersuara, selalu ada tangan-tangan tak terlihat yang menyulut api, menebar fitnah, dan menumpahkan darah agar semua tampak kacau. Lalu siapa yang difitnah? Tentu saja rakyat, mahasiswa, atau kelompok yang sejak awal justru membawa aspirasi damai.
Indonesia terlalu berharga untuk dibiarkan hancur oleh amarah sesaat. Pemerintah dan DPR harus segera membuka ruang dialog, bukan menutup telinga dengan dalih kewibawaan. Sahabat-sahabat demonstran pun perlu mengingat bahwa masyarakat yang tidak ikut turun ke jalan adalah saudara kita, yang sama-sama ingin hidup aman.
Indonesiaku, jangan lagi berdarah. Mari kita jaga negeri ini dengan hati yang teduh. Kita boleh berbeda pendapat, tetapi jangan sampai kehilangan rasa persaudaraan.
Sebab di ujung semua ini, kita tetap akan pulang ke rumah yang sama. Tanah air yang bernama Indonesia, rumah di mana hanya ada satu hal yang wajib dijaga bersama, yaitu kemanusiaan, sebab kekuasaan datang dan pergi tetapi luka rakyat kecil akan terus diwariskan jika kita tidak segera belajar, maka biarlah kali ini kita memilih untuk merawat, bukan mengoyak; memeluk, bukan membakar. (*
*Mariyatul Humaira, alumnus Pondok Pesantren Annuqayah. Bendahara Bidang Pariwisata PB KOPRI PMII.



