Wartawan Bukanlah Penghibur

Ilustrasi. LENSAMADURA/Istimewa

oleh: NK Gapura

Saya disindir oleh beberapa kawan dari Jawa Timuran. Dan agar tidak malu sendirian, usai berbincang, saya niatkan sindiran ini menjadi catatan. Seperti biasa, catatan sederhana.

Pertama, sindiran ini saya terima dengan legowo dan seikhlas-ikhlasnya. Kedua, jika memungkinkan, semoga bisa diterima oleh kawan-kawan jurnalis lain yang mau untuk merasa. Walakin, jika tidak, juga tidak apa.

Sindiran ini, dimulai dari sebuah pertanyaan: di tengah ramai pilkada, kita ini wartawan atau relawan? Bagaimana membedakannya? Dari berita, atau prilakunya? Usai menyampaikan pertanyaan itu, dengan nada menyindir dan sedikit menantang, kawan saya diam.

Baca Juga :  Berguru Pada Orang Kampung

Sejurus kemudian, dia pun melanjutkan bahwa, hari ini, kerja jurnalistik kita mulai tidak sehat. Judul, isi, dan prilaku jurnalisnya mudah ditebak. Padahal, jurnalisme adalah seni menemukan cerita di tempat yang paling tidak terduga. Dan saat ini, semua terkesan hanya pencitraan belaka.

Sayogyanya, seorang jurnalis menulis dengan hati, menyelidiki dengan akal, dan melaporkan dengan keberanian. Itu adalah esensi jurnalisme. Walakin, hari ini, jurnalisme kita hanya seperti lipstik belaka.

Baca Juga :  Eksistensi PMII Masa Kini, Patut Dikritik Atau Dibenahi

Seorang jurnalis, lanjut kawan saya, punya beban yang besar. Di balik setiap tulisannya, ada tanggung jawab terhadap kebenaran dan keadilan.

Seorang jurnalis juga harus mampu mengangkat suara yang tidak didengar. Bekerja dengan fakta, bukan dengan prasangka.

Saat itu, saya merasa diceramahi, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebagai orang yang mengaku sebagai jurnalis, saya merasa tidak hanya disindir. Akan tapi juga disalahkan sejak dari paragraf pertama hingga paragraf terakhir.

Baca Juga :  Peran Pondok Pesantren Boarding School dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Menjelang akhir kami berbincang, kawan saya mengutip ucapan Amy Goodman: Wartawan bukanlah penghibur. Kami adalah reporter. Kami pergi ke tempat-tempat yang tidak populer. Kami menyiarkan suara-suara yang kontroversial. Kami di sini bukan untuk memenangkan kontes popularitas. Kami di sini untuk meliput isu-isu penting bagi masyarakat demokratis.

Mendengar itu, saya juga teringat ucapan Oscar Wilde: Di Amerika, presiden memerintah selama empat tahun, dan jurnalisme memerintah selama-lamanya. Dan hari ini, kita memilih jadi hamba sahaya. Salam awam saja.

Gapura, 3 November 2024

Dapatkan Berita Terupdate dari Lensa Madura di: