SUMENEP, lensamadura.com – Sejumlah aktivis yang mengatasnamakan aliansi pemuda reformasi melawan (ALARM) melakukan audiensi ke kantor Dinsos P3A Sumenep.
Kedatangan mereka ditemui langsung oleh Kepala Dinsos P3A Sumenep, Mustangin, Kabid Linjamsos, dan Kabid Resos di ruangan OPD setempat, Rabu, 4 September 2024.
Audiensi itu dilakukan untuk menindaklanjuti program BLT DBHCHT untuk buruh tani dan pabrik yang gagal direalisasikan. Penerimanya berjumlah 185 orang di Desa Padangdangan, Pasongsongan.
Informasi yang beredar sebelumnya, BLT DBHCHT gagal disalurkan karena mendapat surat penolakan dari Kepala Desa Padangdangan.
Maka dari itu, salah satu aktivis ALARM, Mohammad Nor, dalam audiensinya mengatakan, adanya surat penolakan BLT DBHCHT dari kades Padangdangan yang kemudian disetujui oleh Dinsos P3A Sumenep merupakan penyalahgunaan wewenang.
“Karena surat penolakan tersebut tidak ada dalam regulasi dan aturan perundang-undangan yang membahas surat yang dimaksud,” kata Mohammad Nor dalam keterangan yang diterima Lensa Madura.
Pria yang akrab disapa Nor itu berkata, kepala desa yang menolak bantuan untuk warganya sendiri merupakan bentuk ‘kejahatan’, dan pihak dinsos yang menerima surat, kata dia, juga sedang sama-sama melakukan ‘kejahatan’.
“Karena dinsos sudah mengamini surat penolakan yang jelas-jelas tidak ada dalam regulasi dan aturan yang ada,” tegasnya.
Nor pun sangat menyayangkan adanya peristiwa tersebut. Padahal, kata dia, dua instansi dalam hal ini DKPP Sumenep dan Disnaker setempat sebagai leading sector pengajuan penerima bantuan sudah bekerja sesuai mekanisme dan tepat sasaran.
“Namun faktanya, dinsos bersama kepala desa membuat aturan sendiri, dan menyalahgunakan wewenang sebagai pelaksana yang bertugas dalam proses verifikasi, kini menjelma lembaga yang mengatur proses perekrutan penerima bantuan,” paparnya.
Respons Dinsos P3A Sumenep soal Penolakan Realisasi BLT DBHCHT
Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial (Linjamsos) Dinsos P3A Sumenep, Erwien Hendra memberikan respons terkait tuduhan penyalahgunaan wewenang yang dilayangkan aktivis ALARM.
Erwien mengatakan, penerima program BLT DBHCHT berjumlah 3.150 orang dengan anggaran sebesar Rp 2,9 miliar untuk 26 desa. Per orang mendapatkan bantuan sebesar Rp 900 ribu.
Sementara, surat penolakan itu terjadi karena pemerintah desa Padangdangan beranggapan bahwa para penerima tidak sesuai dengan usulan yang diajukan, dan dinilai tidak tepat sasaran oleh kepala desa.
“Kalau kemudian kita tidak mengikuti perintah dari kepala desa, lalu bagaimana nanti ketika proses penyaluran. Jika misal ada salah satu penerima yang tidak bisa hadir, maka harus menyertakan surat kuasa yang ditandatangani oleh kepala desa,” kata Erwien Hendra menanggapi pernyataan aktivis.
Erwien menjelaskan, peristiwa serupa juga pernah terjadi di tahun sebelumnya di salah satu desa. Karena penerima bukan usulan kepala desa, bantuan pun ditolak.
“Artinya apa, penolakan yag terjadi di Desa Padangdangan karena faktor bukan usulan pemdes dan atau kepala desa. Sehingga hal tersebut mendapat penolakan,” tandasnya. (rif)