oleh: M. Rifqiyadi*
LENSAMADURA.COM – Pernah dengar kabar razia rokok ilegal di Madura? Biasanya yang ditangkap cuma buruh gudang, sopir pikap atau mobil boks.
Namun yang menarik bukan itu. Yang mencolok justru satu fakta yang berulang. Yaitu para pemilik usaha ini ternyata bergelar haji.
Mereka bukan pelaku kriminal kelas teri. Bukan pula pemain baru. Sebagian malah dikenal sebagai tokoh masyarakat, penyumbang tetap masjid, dan mungkin tamu kehormatan dalam banyak acara keagamaan.
Di desa, mereka dijuluki Haji dermawan; di dokumen bea cukai? ah, sudahlah!
Fenomena ini menyisakan ironi. Ibadah yang mestinya menyucikan, tampak tak banyak memengaruhi etika berdagang.
Gelar “Haji” memang punya gengsi sosial tersendiri, tapi di Madura,.dan mungkin banyak tempat lain, gengsi itu tak selalu dibarengi dengan tanggungjawab moral.
Mereka berdalih negara tak berpihak, cukai memberatkan, dan pabrik legal memonopoli pasar. Mereka mengklaim memperjuangkan “ekonomi rakyat”, padahal yang mereka bangun adalah imperium bisnis gelap yang rapi dan sistematis. Ini industri bukan UMKM.
Mereka menyerap tenaga kerja, betul. Tapi mereka juga menggerus potensi pendapatan negara yang bisa digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang justru dibutuhkan rakyat kecil.
Lucunya, penegakan hukum pun seringkali tak berdaya. Aparat yang terlalu keras dianggap tak tau adab; yang terlalu lunak dituduh main mata. Di tengah kebingungan itu, bisnis tetap berjalan. Bahkan berkembang dan makin laris.
Kita tentu tak bisa serta-merta menggeneralisasi semua pemilik rokok ilegal adalah “Haji”. Tapi jika sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang telah menunaikan rukun Islam kelima, maka kita patut bertanya ulang: apa sebenarnya yang mereka cari ketika pergi ke Tanah Suci?
Kesalehan personal, atau sekadar stempel legitimasi untuk bisnis abu-abu?
Negara boleh kalah dalam pengawasan. Tapi publik tak boleh kalah dalam mengingatkan. Sebab, hukum yang dibiarkan mandul oleh wibawa semu gelar sosial, hanya akan menjadi panggung teater.
Dan dalam teater itu, kita tahu persis siapa aktor, siapa penonton, dan siapa yang terus membayar harga paling mahal. (*)
*M. Rifqiyadi, mengelola LensaMadura.com