Opini

Madura dan Penguatan Kontra Radikalisasi: Merawat Harmoni, Menjaga Indonesia

oleh: Abdul Warits, Sekretaris Duta Damai Santri Jatim

LENSAMADURA.COM – Madura, sebuah pulau di timur laut Jawa yang terkenal dengan semangat religius, kultural, dan solidaritas sosial yang tinggi, memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas nasional, khususnya dalam upaya kontra radikalisasi.

Di tengah meningkatnya ancaman ideologi ekstrem di berbagai wilayah Indonesia, Madura tak luput dari potensi penyusupan paham radikal. Namun, kearifan lokal, peran ulama karismatik, serta kekuatan tradisi pesantren menjadi benteng penting dalam memperkuat daya tahan masyarakat terhadap pengaruh ideologi kekerasan.

Sebagaimana diketahui, Islam di Madura dikenal sebagai Islam tradisionalis yang berakar pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Pesantren menjadi pusat pendidikan utama yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air, dan toleransi.

Kiai sebagai tokoh sentral memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara pandang umat. Mereka bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga agen perdamaian yang mengarahkan umat untuk menjaga harmoni sosial.

Tradisi keagamaan seperti slametan, haul, tahlilan, dan pengajian akbar mempererat solidaritas masyarakat dan memperkuat identitas keislaman yang inklusif. Nilai-nilai ini jelas berseberangan dengan ideologi radikal yang cenderung eksklusif dan memutus hubungan sosial.

Meskipun memiliki fondasi tradisional yang kuat, Madura tidak kebal dari ancaman radikalisasi, terutama melalui kanal digital. Media sosial dan internet menjadi medium baru penyebaran paham kekerasan, yang menyasar generasi muda dengan narasi keagamaan yang terdistorsi dan janji-janji ideologis yang menyesatkan.

Fenomena hijrah instan, kajian daring tanpa sanad keilmuan, dan glorifikasi kekerasan atas nama agama mulai menyusup ke ruang-ruang virtual masyarakat Madura. Kondisi ini menuntut pendekatan kontra radikalisasi yang adaptif, yang tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan edukatif.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah optimalisasi peran pesantren dan kiai pesantren perlu diposisikan sebagai garda terdepan dalam kontra radikalisasi. Penguatan kurikulum moderasi beragama, pelatihan digital untuk santri, serta kampanye keislaman damai di media sosial akan menjadi langkah efektif.

Kiai juga perlu terus diberdayakan dalam menjangkau masyarakat melalui forum keagamaan maupun dakwah lintas platform. Bahkan, Generasi muda perlu dibekali dengan pemahaman kritis terhadap informasi keagamaan, sejarah Islam yang utuh, dan wawasan kebangsaan. Madrasah dan perguruan tinggi di Madura dapat menjadi laboratorium toleransi dan dialog antarmazhab maupun antarkelompok.

Dalam kultur Madura, perempuan memegang peran penting dalam keluarga dan pendidikan anak. Meningkatkan literasi keagamaan dan digital bagi perempuan akan memperkuat benteng ideologis dalam rumah tangga. Demikian pula, tokoh budaya dan pemuda adat dapat menjadi agen kontra narasi yang menyasar segmen masyarakat yang lebih luas.

Pemerintah daerah, aparat keamanan, dan organisasi masyarakat sipil perlu membangun ekosistem kontra radikalisasi yang berbasis komunitas. Pendekatan humanis, dialogis, dan berbasis lokal akan lebih diterima dibanding pendekatan koersif semata.

Menguatkan kontra radikalisasi di Madura bukan hanya soal menjaga ketertiban lokal, tetapi juga menjaga keutuhan bangsa. Sebagai wilayah yang religius dan strategis, stabilitas Madura berdampak luas terhadap persepsi nasional terhadap Islam Nusantara.

Ketika Madura mampu memperkuat benteng budaya dan agamanya dari infiltrasi radikalisme, maka Madura turut berkontribusi besar dalam menjaga Indonesia yang damai, toleran, dan bersatu dalam keberagaman. (*)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button