oleh: Jufri Zaituna, penyair tinggal di Sumenep
LensaMadura.com – Pada suatu siang di awal tahun 2025, di sebuah perbatasan yang mungkin tak lagi diingat batasnya, sebuah monumen berdiri. Diresmikan dengan upacara, dihadiri oleh pejabat, dipuji oleh media. Kamera merekamnya dari berbagai sudut. Ada sambutan, ada doa, ada puisi yang dipahat di atas batu.
Kita selalu tahu: di setiap rezim, ada monumen. Di setiap monumen, ada puisi. Dan sering kali, puisi yang dipilih adalah yang paling jinak.
1
Puisi Munajat di Jantung Keris karya Ibnu Hajar kini menjadi prasasti di Tugu Keris Sumenep. Sebuah tugu yang katanya hendak melestarikan warisan leluhur, tetapi tak jelas kepada siapa ia berbicara.
Dulu, puisi adalah suara yang bergerak di jalanan. Chairil Anwar meneriakkan “Aku ini binatang jalang.” W.S. Rendra menantang dengan Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta. Afrizal Malna membongkar kota dengan citraan yang fragmentaris.
Tapi puisi di Tugu Keris? Ia sunyi. Ia tidak mengajukan pertanyaan. Ia hanya berdiri di sana, menjadi bagian dari monumen.
Jean Baudrillard menyebut ini sebagai simulasi. Kita mengira sedang melestarikan kebudayaan, padahal kita hanya mengulang tanda-tanda tanpa referensi. Tugu itu mungkin dimaksudkan sebagai representasi kejayaan, tetapi kejayaan siapa? Dan untuk apa?
2
Mari kita baca sejenak salah satu larik puisi Munajat di Jantung Keris tersebut:
“Dunia kita adalah gugusan luk sembilan pada kitab waktu
Di antara tajali puisi-puisi Adam yang semburat di pintu surga.”
Ada sesuatu yang terasa akrab. Kata-kata yang seakan berat, tetapi kehilangan daya sentuh.
Bandingkan dengan ini:
“Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Lirik dari Koes Plus ini jauh lebih sederhana, tapi memiliki akar. Ia berbicara tentang tanah, tentang kemakmuran yang paradoksal, tentang kekayaan yang nyaris ilusif. Sedangkan puisi di Tugu Keris? Ia bermain dengan metafora mistis yang kehilangan tubuh.
Jacques Derrida mengajarkan kita untuk membaca ulang teks dengan kecurigaan. Puisi ini berbicara tentang warangka keris, tetapi kerisnya di mana? Apakah ini hanya bahasa yang dikosmetikasi untuk mengaburkan kenyataan?
3
Lyotard dalam The Postmodern Condition mengingatkan kita bahwa narasi besar telah runtuh. Tidak ada lagi satu sejarah tunggal yang bisa dipaksakan kepada semua orang.
Tetapi monumen seperti Tugu Keris selalu berusaha menghidupkan kembali narasi besar itu. Sebuah kebesaran yang diklaim sebagai milik bersama, tetapi sering kali tak lebih dari proyek pencitraan.
Sastra, dalam konteks ini, dijadikan pelayan bagi narasi itu. Bukan sebagai penggugat, bukan sebagai pertanyaan, tetapi sebagai hiasan.
Dan ini bukan hal baru. Orde Baru melakukan hal yang sama. Para penguasa kolonial juga begitu. Sastra dijadikan alat untuk membangun imaji kekuasaan.
Pertanyaannya: apakah kita masih ingin melanjutkan tradisi itu?
4
Ada yang lebih berbahaya dari puisi yang buruk: puisi yang dimonumenkan.
Puisi, jika ia ingin tetap hidup, harus bergerak. Ia harus menjadi percakapan, bukan sekadar ukiran di batu. Puisi yang dipahat di tugu berisiko membatu—bukan dalam arti abadi, tetapi dalam arti mati.
Lalu, apakah para penyair masih akan diam?
Ataukah ada yang akan menulis dengan tinta yang lebih tajam, menolak menjadi bagian dari orkestra pujian, dan memilih menjadi suara yang menggugat?
Karena pada akhirnya, sastra bukanlah apa yang terukir di prasasti. Sastra adalah apa yang tetap diingat, bahkan ketika monumen telah runtuh. (*)