Sumenep,LensaMadura.Com – Pasca Polres Sumenep menetapkan tersangka terhadap Mohammad Siddik, kini aktivis LSM JCW itu kembali angkat bicara.
Mohammad Siddik dalam pernyataannya melalui Voice Note yang disebarkan ke wartawan dan beberapa Group WhatsApp Sabtu, 5 Juni 2021, berjanji ungkap semua fakta.
“Akan saya ungkap semua fakta-fakta hukum dan fakta di lapangan bahwa PT. SMPI (PT. SMIP, red) yang dinahkodai H. Sugianto banyak mendirikan bangunan di atas tanah kas desa yang tidak ada tukar gulingnya. Akan saya ungkap semua termasuk yang di depan Madura Channel dulu, tanah kosong itu adalah PSU itu. Itu fasilitas umum sekarang diatasnamakan istrinya. Akan saya ungkap semua,” ungkap salah satu advokat di Sumenep ini dengan suara lantang.
Dalam keterangan sebelumnya, Siddik menuding PT. SMIP menyerobot lahan percaton 27 hektar di Desa Kolor, Kota Sumenep tanpa tukar guling.
Gara-gara tuduhan itu lewat media Jawa Pos Radar Madura edisi 27 November 2016, Siddik dilaporkan ke Polda Jatim oleh Supandi Syahrul selaku kuasa H. Sugianto Direktur PT. SMIP. Kemudian Polda Jatim melimpahkan penanganan kasus tersebut ke Polres Sumenep.
Informasi yang dihimpun LensaMadura.Com, hasil gelar perkara oleh penyidik Jumat, 28 Mei 2021, Siddik ditetapkan tersangka.
Penetapan tersangka itu tertulis dalam surat ketetapan Nomor: S. Tap/73/V/2021/ Satreskrim. Surat ditanda tangani Kasat Reskrim Polres Sumenep AKP Fared Yusuf.
Siddik disangka melanggar pasal 311 Ayat (1) KUHP. Tentang kejahatan menista atau menista dengan tulisan. Terancam hukuman 4 tahun penjara.
Terkait pernyataan terbaru Mohammad Siddik itu, LensaMadura.Com meminta tanggapan kepada Subagyo kuasa hukum H. Sugianto, Direktur PT. SMIP.
Pertama, kata Subagyo dalam pernyataan di depan para wartawan, Siddik dengan tuduhan seperti itu, berarti dia melakukan penistaan nama atau fitnah lagi kepada PT. SMIP dan para pengurusnya.
“Sekarang dia tersangka untuk perkara penistaan yang dilakukan di bulan November 2016 di koran Radar Madura. Jika PT. SMIP dan pengurusnya memperkarakan lagi pengulangan perbuatannya, yang terjadi di tahun 2021 itu, dia bisa jadi tersangka lagi untuk perbuatan pengulangan ini,” terang Subagyo dalam keterangan tertulisnya Sabtu, 5 Juni 2021.
Untuk perbuatan pengulangan atau mengulangi perbuatan penistaan itu, tambah Subagyo, hukumannya bisa ditambah 1/3, menurut Pasal 488 KUHP.
“Semakin sering dia obral statemen ke publik yang bisa menimbulkan fitnah, akan makin berat dia menanggung perkara itu,” tambah pria yang juga getol membela kaum buruh dan kerusakan lingkungan ini.
Kedua, lanjut Subagyo, jika dia punya bukti atas tuduhannya kepada PT. SMIP itu, ya silahkan diperkarakan. Sebenarnya Siddik itu tidak tahu riwayat tanah-tanah yang dibebaskan PT. SMIP.
“Dia itu beropini secara emosional dan spekulatif. Kasihan juga dia itu. Contohnya waktu dia mengaku sebagai kuasa hukum Herman Supriyantoso mengirim surat somasi ke mana-mana, setelah kami somasi, kami tantang menunjukkan surat kuasa dari Herman, dia tidak bisa menunjukkan surat kuasanya,” beber Subagyo.
Ketika digugat perdata, dia tetap tidak mampu menunjukkan surat kuasa dari orang yang namanya Herman Supriyantoso.
“Jadi dia rupanya suka mengada-ada sehingga itu merugikan dia sendiri, karena jadi blunder.
Laporan Sidik di Polda dengan tuduhan bahwa PT. SMIP korupsi karena tidak memberikan TKD pengganti, itu juga keliru. Sekarang malah penyelidik sedang menyelidiki asal muasal gosip yang beredar yang menyatakan ada hasil pemeriksaan BPKP bahwa negara dirugikan sekitar Rp 130 Milyar dalam tukar guling itu,” kata Subagyo menjelaskan.
Kayaknya, sambung dia, penyebar gosip itu juga akan terjerat perkara juga. Nanti dia akan diperiksa juga dalam perkara penyebaran informasi yang patut diduga sebagai info hoax itu.
Andaipun ada salah hitung nilai tanah dalam tukar guling TKD itu, salah hitung bukan PT. SMIP, tapi panitia Penilai yang dibentuk Bupati Sumenep tahun 1997. H. Sugianto dan PT. SMIP tidak terlibat dalam menghitung harga tanahnya.
“Kami punya dokumennya itu yang menyatakan bahwa Bupati Sumenep yang bertanggung jawab dalam tukar guling TKD tahun 1997. Sidik itu gak punya data. Makanya ngelantur gak karuan,” tegasnya.
Padahal prinsip hukumnya “Siapa yang menuduh wajib membuktikan.” Kecuali dalam kasus korupsi untuk menghitung kekayaan pribadi para pejabat negara atau pemerintah, asas pembuktian terbalik bisa diterapkan di sidang pengadilan.
Jadi, para aktivis LSM itu kalau mau laporan ke polisi atau ke lembaga lain yang berwenang, harus menyiapkan bukti dulu. Itu sesuai asas hukum, siapa yang menuduh, wajib membuktikan.
“Saya ini juga pengurus LSM sejak tahun 2004 hingga sekarang. Tapi cara kerja kami tidak ngawur,” pungkas Subagyo. (Yan)