oleh: Moh. Tohari, bergiat di PMII Sumenep
LENSAMADURA.COM – Di tengah laju zaman yang serba cepat dan individualistis, organisasi mahasiswa dan kepemudaan menghadapi tantangan serius: kehilangan daya tarik di mata anggotanya sendiri.
Tidak sedikit mahasiswa yang terlibat hanya karena ajakan teman, bertahan sebentar, lalu menghilang tanpa jejak.
Fenomena ini bukan semata karena kurangnya minat, tetapi seringkali karena organisasi gagal menghadirkan ruang yang benar-benar membina, memberdayakan, dan menginspirasi.
Organisasi yang sehat seharusnya tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga mengalir dalam gerak nyata.
Struktur kepengurusan tidak boleh sekadar nama dan jabatan, melainkan sistem yang terencana, terukur, dan berjalan pada rel visi yang disepakati bersama.
Visi inilah yang menjadi fondasi agar organisasi tidak goyah saat menghadapi pergantian kepemimpinan atau dinamika internal.
Ketika sistem berjalan stabil dari tingkat pusat hingga basis, organisasi tidak hanya bergerak, tapi juga tumbuh secara berkelanjutan.
Namun sistem tanpa dampak hanya akan menjadi kerangka kosong. Organisasi akan kehilangan kepercayaan jika hidupnya hanya terasa di tingkat elit, tetapi sunyi di lapisan bawah.
Realitas ini banyak terjadi: kegiatan besar digelar meriah di pusat, namun kader di tingkat ranting atau komisariat merasa tidak memiliki ruang dan peran.
Ini adalah sinyal bahwa program organisasi belum membumi. Padahal, indikator sehatnya organisasi justru terlihat dari sejauh mana kader paling bawah merasa dilibatkan dan diberdayakan.
Misalnya, dalam banyak kasus, kegiatan pelatihan kader hanya difokuskan di tingkat atas, tanpa ada pendampingan berkelanjutan ke akar.
Padahal, kader di tingkat bawah sering menghadapi tantangan lebih kompleks, kurangnya mentor, minimnya akses literasi organisasi, bahkan kekosongan arah gerak.
Ketika organisasi benar-benar hadir menjawab realitas ini bukan sekadar mengirim edaran atau laporan maka kepercayaan kader akan tumbuh dari bawah.
Lebih jauh dari sistem dan dampak, organisasi juga perlu menyalakan inspirasi. Ia harus menjadi ruang yang memberi energi, bukan yang menguras semangat.
Banyak kader yang datang dengan antusias, namun pergi karena kecewa. Bukan karena organisasi itu berat, tetapi karena tidak ada suasana belajar yang sehat.
Organisasi yang baik bukan sekadar mengundang hadir, tetapi menciptakan rasa memiliki. Kepemimpinan yang memberi keteladanan, budaya yang suportif, dan ruang yang terbuka bagi kader untuk berekspresi, adalah kunci agar loyalitas tumbuh tanpa dipaksa.
Sayangnya, tidak sedikit organisasi yang justru terjebak pada budaya formalitas atau hanya menjadi batu loncatan menuju jabatan.
Budaya ini bukan hanya merusak citra organisasi, tapi juga menghancurkan esensi perjuangan. Organisasi kehilangan idealismenya saat lebih sibuk memburu kekuasaan daripada membina manusia.
Mahasiswa harus sadar bahwa organisasi bukan beban, melainkan bekal. Dunia pascakampus tidak hanya menuntut IPK tinggi, tapi juga karakter yang kuat, kepemimpinan yang bijak, komunikasi yang baik, dan kemampuan bekerja dalam tim.
Semua ini tidak cukup dipelajari di kelas. Organisasi adalah laboratorium kehidupan yang nyata. Mahasiswa yang tidak pernah menyentuh ruang organisasi mungkin akan kehilangan kesempatan penting untuk menempa diri secara utuh.
Akhirnya, organisasi tidak akan pernah besar hanya karena jumlah anggotanya banyak. Ia akan menjadi kuat bila setiap kadernya tumbuh melalui proses yang terarah dan bermakna.
Maka, membangun organisasi yang sistematis, berdampak, dan menginspirasi bukanlah pilihan, tetapi keniscayaan. Ini bukan semata tugas pengurus, melainkan tanggung jawab bersama seluruh kader.
Karena hanya dengan kebersamaan itulah organisasi bisa benar-benar menjadi jalan perjuangan, bukan sekadar persinggahan sementara yang dilupakan setelah wisuda. (*)