oleh: Jufri Zaituna, penyair tinggal di Sumenep
Di tanah para empu ini
Aku masih nikmat bercengkrama dengan geliat pamor
Sementara langit tetap saja menyimpan jejak para leluhur
Menjelma hamparan panjang pohon-pohon siwalan
Di sela doa paling ijabah
Dunia kita adalah gugusan luk sembilan pada kitab waktu
Di antara tajali puisi-puisi Adam yang semburat di pintu surga
dan mari genggam warangka keris ini di halaman semesta
Jangan biarkan sejarah menelantarkan bilah-bilah Sukma
Sebab kita tak akan mencakar muka sendiri
Udara bergaram bergaram mulai mengirim lautan imaji
Ke sudut selut yang tak pernah lunglai, di bibir cakrawala
Saat matahari senja mulai bersujud
Di pelupuk daun cemara sepasang merpati melantunkan tembang: Cinta
Dan aku masih setia menjilati semerbak melati
Sumenep, 2024
Puisi “Munajat di Jantung Keris” karya Ibnu Hajar di atas adalah upaya untuk merangkai spiritualitas dalam bingkai budaya. Di satu sisi, ia mencoba menghadirkan munajat sebagai doa, tetapi di sisi lain, ia juga terjebak dalam glorifikasi simbol duniawi—keris sebagai artefak sejarah yang sakral. Jika dibandingkan dengan puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM dan Zikir karya D. Zawawi Imron, tampak jelas bagaimana pendekatan spiritual dalam puisi bisa menjadi lebih transenden atau justru semakin melekat pada konstruksi budaya yang dilembagakan.
Puisi sebagai Simbolisme: Keris dan Munajat yang Terkunci dalam Sejarah
Puisi Ibnu Hajar berdiri dalam persimpangan antara mistisisme dan fetisisme budaya. Dalam tradisi tasawuf, munajat adalah percakapan batin antara manusia dan Tuhan. Ia adalah bentuk kedekatan yang tak membutuhkan saksi, sebuah dialog yang lahir dari kehendak untuk melebur dalam keesaan. Namun dalam Munajat di Jantung Keris, munajat ini tertuju pada keris—sebuah benda yang memang memiliki makna historis dan spiritual dalam budaya Jawa, tetapi tetaplah benda.
Di sini muncul dilema interpretasi: apakah ini bentuk ittihad yang menyimpang, ataukah sekadar metafora yang tidak efektif? Dalam sufisme, ittihad adalah pengalaman mistik ketika seorang individu menyatu dengan Tuhan, sedangkan fetisisme lebih dekat dengan pengultusan benda. Dengan menempatkan keris sebagai pusat doa, puisi ini lebih condong kepada yang kedua.
Bandingkan dengan Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM. Penyair sufistik ini menggambarkan hubungan manusia dan Tuhan dengan metafora yang lebih esensial:
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Di sini, tidak ada simbol budaya spesifik. Yang ada adalah pengalaman spiritual yang universal, yang bisa dialami oleh siapa saja tanpa perlu memahami konteks budaya tertentu. Metafora api dan panas memperlihatkan kesatuan esensial antara Tuhan dan makhluk-Nya. Sementara itu, dalam Munajat di Jantung Keris, hubungan spiritual ini justru dikonstruksi melalui objek yang sudah dilembagakan dalam sejarah dan politik kebudayaan.
Daya Hidup Spiritual: Dari Alif ke Keris
Salah satu puisi terbaik D. Zawawi Imron, Zikir, menunjukkan bagaimana spiritualitas bisa diekspresikan dalam bentuk yang lebih murni:
Alif, alif, alif!
Alifmu pedang di tanganku
Susuk di dagingku, kompas di hatiku
Huruf Alif, yang dalam Islam melambangkan keesaan Tuhan, digunakan sebagai pusat meditasi. ‘Alif’ bukan sekadar simbol, tetapi jalan menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam. Berbeda dengan Munajat di Jantung Keris, yang menggunakan keris sebagai objek pemujaan budaya, Zikir menggunakan ‘Alif’ sebagai titik zikir yang membawa pembaca menuju pengalaman mistik yang lebih luas.
Jika Zikir menuntun pada pencarian makna, Munajat di Jantung Keris justru lebih dekat pada monumentalisasi simbol budaya. Inilah yang membuat puisi ini terasa lebih seperti prasasti daripada doa. Jika kita mengikuti gagasan Baudrillard tentang simulakra, puisi ini berisiko menjadi sekadar tanda tanpa referensi nyata: keris bukan lagi benda yang digunakan, melainkan objek yang diawetkan sebagai citra kejayaan masa lalu.
Kanonisasi Sastra: Ketika Puisi Menjadi Prasasti
Ketika sebuah puisi diabadikan dalam monumen, ia tidak lagi bersifat cair dan bebas ditafsirkan. Ia menjadi bagian dari wacana resmi, bukan lagi ruang refleksi kritis. Ini adalah bagian dari kanonisasi sastra, sebuah proses di mana karya sastra dipilih dan dilembagakan oleh otoritas tertentu—baik negara, akademisi, atau jaringan elit budaya.
Di Indonesia, kanonisasi sastra telah melewati berbagai fase. Dari dominasi Lekra dan Manifes Kebudayaan hingga era Reformasi, pemilihan karya yang dianggap “representatif” selalu terkait dengan kepentingan politik dan kebudayaan. Dalam konteks lokal seperti Sumenep, kanonisasi ini lebih banyak dikendalikan oleh elite budaya yang erat kaitannya dengan kekuasaan.
Puisi Munajat di Jantung Keris, dalam hal ini, berpotensi menjadi bagian dari wacana resmi yang mengukuhkan simbol budaya yang telah dilembagakan. Ini berbeda dengan karya Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron, yang tetap beredar dalam ruang interpretasi yang lebih terbuka. Jika sastra yang baik adalah yang terus bergerak dan menantang status quo, maka puisi yang telah dipahat dalam monumen justru berisiko kehilangan daya hidupnya.
Membebaskan Sastra dari Monumen
Pertanyaannya sekarang: bagaimana penyair muda bisa keluar dari jerat kanonisasi ini? Bisakah mereka menghadirkan puisi yang lebih reflektif, lebih kritis, dan lebih dekat dengan kehidupan masyarakat daripada sekadar memuja kejayaan masa lalu?
Untuk itu, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
1. Menghidupkan kembali sastra sebagai ruang kritik
Sastra tidak boleh hanya menjadi alat legitimasi budaya, tetapi harus menjadi ruang untuk mempertanyakan makna dari simbol-simbol yang dilembagakan.
2. Membuka ruang alternatif
Jika puisi diabadikan dalam monumen, bagaimana jika puisi tandingan diterbitkan dalam media alternatif? Blog, zine, dan festival independen bisa menjadi sarana untuk menantang wacana resmi.
3. Menggugat narasi besar melalui satire dan dekonstruksi
Penyair bisa menggunakan parodi dan ironi untuk mempertanyakan makna simbol yang dilembagakan. Jika keris adalah simbol kejayaan, bagaimana jika ada puisi yang justru menggugat kejayaan itu dalam konteks kemiskinan atau ketimpangan sosial?
Seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad:
Puisi yang baik tidak ingin dikenang, ia ingin dipahami. Dan jika ia harus punah, ia punah karena zaman telah bergerak, bukan karena ia diawetkan di batu.
Jika Munajat di Jantung Keris hanya menjadi prasasti, maka ia kehilangan daya kritisnya. Sebuah puisi yang benar-benar hidup harus mampu menembus batas-batas simbol dan membawa pembaca ke pengalaman yang lebih esensial. Bukan sekadar memuja masa lalu, tetapi menggali makna yang relevan untuk masa kini dan masa depan.
Sumenep, 23 Maret 2025