JAKARTA, lensamadura.com – Kementerian Agama (Kemenag) memberikan penjelasan terkait pentingnya sidang isbat untuk menentukan bulan Ramadhan.
Salah satu alasannya, karena Indonesia bukan negara agama dan sekuler, sehingga tidak bisa menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada orang perorangan atau golongan.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Adib. Ia mengatakan sidang isbat sudah menjadi rutinitas Kemenag sejak 1950 dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal hingga Zulhijjah.
“Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan. Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan berlebaran,” ujar Adib dikutip dari laman Kemenag, Jumat, 8 Maret 2024.
Seiring berjalannya waktu, MUI mengeluarkan Fatwa Keputusan No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Fatwa tersebut mengamanatkan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah akan ditentukan melalui metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI melalui Menteri Agama, dan berlaku secara nasional.
Sidang isbat penting dilakukan karena banyak organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia juga memiliki metode dan standar mereka sendiri dalam menetapkan awal bulan Hijriyah. Tidak jarang pandangan mereka berbeda satu sama lain, yang dipengaruhi oleh perbedaan mazhab dan metode yang digunakan.
Maka dari itu, sidang isbat perlu diadakan karena berfungsi sebagai forum, wadah, dan mekanisme pengambilan keputusan. Sehingga sidang isbat menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat setiap tahunnya.
“Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan. Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan berlebaran,” urai Adib.
Dalam prosesnya, sidang isbat melibatkan para ulama, pakar astronomi, dan ahli ilmu falak dari berbagai ormas Islam. Serta instansi terkait dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.
Dalam pelaksanaannya, sidang ini juga dihadiri oleh Duta Besar Negara Sahabat, Ketua Komisi VIII DPR RI, Perwakilan Mahkamah Agung, Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Perwakilan Badan Informasi Geospasial (BIG), Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Perwakilan Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Perwakilan Planetarium Jakarta, Pakar Falak dari Ormas-ormas Islam, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, dan Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam serta Pondok Pesantren.
“Hasil musyawarah dalam sidang isbat ditetapkan oleh Menteri Agama agar mendapatkan kekuatan hukum. Jadi bukan pemerintah yang menentukan jatuhnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Pemerintah hanya menetapkan hasil musyawarah para pihak yang terlibat dalam sidang isbat,” papar Adib.
Sidang Isbat untuk menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, tidak hanya dilakukan di Indonesia. Negara-negara Arab juga melakukan isbat setelah menerima laporan rukyat dari lembaga resmi pemerintah atau individu yang telah diverifikasi dan dianggap sah oleh Majlis Hakim Tinggi.
Perbedaannya, Indonesia menggunakan mekanisme musyawarah dengan semua peserta sidang isbat. Pemerintah hanya hadir sebagai fasilitator ormas Islam dan para pihak, kemudian hasilnya akan diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri Agama agar mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani masyarakat.
“Inilah yang menjadi nilai lebih bahwa keputusan diambil bersama, nilai-nilai demokrasi sangat tampak dengan kehadiran seluruh ormas yang hadir pada saat sidang isbat,” kata Adib.
“Sidang isbat mengingatkan kita semua akan pentingnya menyatukan langkah dalam menjalankan ibadah dan memperkuat hubungan bersama dengan Allah, dengan tetap mengedepankan toleransi dan sikap saling menghormati atas beragam keputusan yang ada,” tandasnya. (red)