Opini

Seniman Penjilat dan Matinya Kejujuran Estetika

64
×

Seniman Penjilat dan Matinya Kejujuran Estetika

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi. LENSAMADURA/Istimewa

oleh: Jufri Zaituna, penyair tinggal di Sumenep

LensaMadura.com – Di kota kecil ini—yang tanahnya harum tembakau dan mulut-mulut manusianya masih mengunyah puji-pujian untuk raja lokal—seni telah kehilangan taring. Ia tidak lagi menggigit, bahkan tidak lagi menggonggong. Ia duduk manis di pangkuan kekuasaan, mengelus-elus betis birokrasi, dan menyebut itu pengabdian budaya. Tapi kita tahu nama sebenarnya: penjilatan.

DISPLAY ADVERTISING
Ucapan Ramadan KPU Sumenep

Seni di kota ini tidak sedang berkembang. Ia dikurung dalam sangkar emas yang dibangun dari dana hibah dan undangan festival. Para seniman—yang seharusnya menjadi mercusuar intelektual dan nurani zaman—malah berebut kursi di meja makan kekuasaan, menjadi juru bicara estetika dari yang berkuasa. Mereka adalah satpam wacana, bukan penggugat dunia. Mereka menulis puisi tentang bunga mekar di taman kantor bupati, lalu menyebut itu perlawanan.

Baca Juga :  Ulang Tahun SMSI: Sewindu Mengarungi Disrupsi Multidimensi

Seni dan sastra seharusnya menjadi pemantik kemajuan masyarakat. Ia harus mencerdaskan, membebaskan, dan membawa warga ke pelabuhan kesadaran—dengan semangat akal budi dan daya cipta. Tapi apa jadinya bila seniman malah menjadi benalu di tubuh kekuasaan? Mereka menanam estetika palsu, memanen tepuk tangan dari pejabat, dan menyebut itu pencapaian kultural. Ini bukan kemajuan. Ini regresi yang dibungkus brosur acara kebudayaan.

Seni tidak diciptakan untuk menenangkan kekuasaan.
Ia diciptakan untuk mempertanyakan, menggugat, bahkan membakar.
Apa gunanya lukisan yang indah jika tak mampu menahan luka zaman?
Apa gunanya puisi jika hanya memuja kursi?

Kita harus kembali menghidupkan api kritik. Seni bukan tamu kehormatan dalam pesta kekuasaan. Ia harus menjadi pengacau pesta. Ia harus menyalakan api di meja makan, membakar kursi-kursi nyaman yang membuat seniman tertidur di atas kehormatan palsu.

Kekuasaan akan selalu ingin dipuja. Tapi seniman sejati menolak jadi pemuja. Ia memilih kerasnya jalan sunyi—jalan kata-kata yang menyakitkan, tetapi menyelamatkan. Ia menolak jadi alat. Ia ingin jadi noktah kegaduhan dalam simfoni kemunafikan.

Dan jika menjadi kritis dianggap berisik di kota ini, maka berisiklah!
Biar kata-katamu jadi bising, biar puisimu jadi teriakan.
Karena diam itu adalah seni yang mati.
Dan seniman penjilat adalah kuburannya. (*)

Info LensaMadura
Opini

oleh: Hordani, Ketua Kopri PMII STITA Sumenep LensaMadura.com…

Opini

oleh: Daviatul Umam, penulis bergiat di Komunitas Damar…