Opini

Pabrik Hantu dan Serba-serbi Ternak Pita Cukai

183
×

Pabrik Hantu dan Serba-serbi Ternak Pita Cukai

Sebarkan artikel ini
M. Faizi. LENSAMADURA/Dok

Petani sekaligus Jurnalis Serikat News, M. Faizi, melalui tulisannya mencoba membeberkan kegelisahannya terkait keberadaan gedung pabrik rokol yang berdiri gagah namun tak beroperasi. Dalam opininya, dia menyebut pabrik hantu yang terjebak dalam lingkaran ternak pita cukai.

Berikut kami turunkan tulisan M. Faizi yang sebelumnya terbit di media Nusa Insider dengan judul “Pabrik Hantu dan Bayang-bayang Ternak Pita Cukai: Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan?”

Pabrik Hantu dan Serba-serbi Ternak Pita Cukai

oleh: M. Faizi, Jurnalis Serikat News

SAYA tidak akan mulai tulisan ini dengan istilah teknis. Saya hanya ingin mengajak Anda membayangkan satu hal sederhana: sebuah bangunan besar, megah di beberapa pelosok bahkan pinggir jalan desa. Dulu katanya akan jadi pabrik rokok. Tapi sudah lebih dari beberapa tahun terdapat pabrikan yang diduga tak ada suara mesin. Tak ada lalu lalang buruh bahkan tukang parkir pun nyaris tak ada.

Saya menyebutnya: pabrik hantu. Tapi belakangan, istilah yang lebih tajam mulai dipakai orang, yakni pabrik ternak pita cukai.

Istilah ini mencuat ketika saya dan beberapa rekan jurnalis berkesempatan bincang-bincang dalam sebuah pertemuan dengan Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo. Obrolan kami awalnya biasa saja tapi menghangat ketika pembahasan menyentuh soal industri rokok lokal yang sedang tumbuh atau pura-pura tumbuh.

Bupati Fauzi menyampaikan kegelisahannya secara terang-terangan. Ia menyoroti maraknya pabrik-pabrik rokok yang berdiri megah namun nyaris tak punya aktivitas. Tidak ada produksi, tidak ada kontribusi ke masyarakat sekitar, tidak ada tenaga kerja lokal yang terserap. Tapi anehnya, mereka tetap hidup bahkan menikmati manisnya fasilitas pita cukai.

Model seperti ini ibarat berternak izin dan pita cukai, bukan berternak tembakau.

Dalam bahasa awam: pabrik dibuat hanya untuk mendapatkan fasilitas cukai dari pemerintah. Bukan untuk benar-benar memproduksi rokok atau menyerap tenaga kerja. Ada bangunan, ada izin, ada nama usaha. Tapi kosong. Nihil manfaat bagi lingkungan. Lalu, apa yang salah?

Mungkin tidak ada yang benar-benar melanggar hukum. Tapi ada yang sangat salah secara moral. Pabrik itu mestinya bukan hanya tempat produksi. Ia adalah mesin penggerak ekonomi lokal. Ia seharusnya membuka peluang kerja. Membuat warung-warung kecil di sekitarnya ikut hidup. Memberi pemasukan bagi desa bukan sekadar mengecat tembok dengan logo perusahaan.

Sama halnya begini, Bupati Fauzi melalui Kalender Event-nya memiliki hasrat besar: menghadirkan dampak nyata bagi masyarakat sekitar dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Karena itu, dalam setiap penyelenggaraan event, keterlibatan UMKM selalu menjadi prioritas utama yang selalu mendapat perhatian.

Fakta bahwa model “pabrik hantu” ini bisa hidup subur menunjukkan ada ruang abu-abu dalam sistem perizinan dan pengawasan. Pemerintah pusat memberi banyak insentif bagi industri hasil tembakau dalam bentuk Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Sayangnya, insentif ini kadang dimanfaatkan lebih banyak oleh mereka yang jeli secara administratif bukan yang serius secara produktif.

Dalam dunia ekonomi, hal ini sejalan dengan kritik klasik Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi:

“Pertumbuhan personal tidak selalu sejalan dengan kesejahteraan komunal. Pasar bisa bergerak cepat untuk segelintir orang tapi melambat bahkan membusuk di titik-titik paling dekat dengan rakyat.”

Saya percaya Bupati Sumenep tidak sedang anti investasi. Ia hanya sedang mencoba menegakkan logika sederhana: pabrik rokok harus memberi manfaat bukan hanya mengantongi pita cukai. Ia ingin mengembalikan ruh dari industrialisasi tembakau ke jalan yang lebih bermoral.

Langkah-langkah konkret mulai disiapkan. Salah satunya lewat proyek Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau (APHT) di Guluk-Guluk yang sebentar lagi bakal di fungsikan. Di sana, 11 pabrik rokok lokal difasilitasi langsung oleh Pemkab dan PD Sumekar. Mereka diberi tempat, didampingi izinnya dan ditarget untuk segera memproduksi. Ini adalah model yang (setidaknya) mencoba menghindari skema pabrik zombie: hidup di atas kertas, mati di lapangan.

Namun, tetap ada pekerjaan rumah besar: mengubah pola pikir pelaku industri. Bahwa pabrik bukan hanya cara untuk mendapat kuota pita cukai tapi cara untuk menciptakan kesejahteraan. Bahwa produksi tidak boleh hanya sekadar formalitas tapi harus nyata, terlihat, terdengar dan terasa manfaatnya.

Jika tidak, maka “ternak pita cukai” akan terus tumbuh. Dan masyarakat di sekitar pabrik hanya akan jadi penonton dari kemegahan yang tak pernah memberi mereka apa-apa. (*)

Note: Tulisan sepenuhnya tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi.