A. Dardiri Zubairi (Foto: Facebook Royyan Julian) |
Oleh A Dardiri Zubairi*
Sejak pulang kampung pada tahun 1998 setelah sempat 8 tahunan merantau ke kota untuk kepentingan –kata orang–kuliah, saya seperti “direstart’ untuk mengalami lagi hidup di kampung lengkap dengan nilai-nilai dan tradisinya. 8 tahun di kota diajari berpikir rasional, positivistik, serba pasti dan balutan nilai nilai perkotaan yang serba profan, pragmatis, dan relasi elu-gue, kembali ke desa membuat saya linglung meski awal datang kayak “sombong”.
Sombong? Ya. Karena sepulang dari kampus setelah sekian semester dijejali SKS, ditambah sok sibuk di organisasi ekstra dan kelompok kajian, datang ke kampung seperti orang yang paling tercerahkan. Merasa pinter sendiri, civilized, maju, dan modern sementara orang kampung tidak tahu apa-apa,mandeg, dan kolot. Sombong kan?
Betul. Hari demi hari menjalani kehidupan di kampung otak seperti linglung. Gagasan pencerahan yang disadap di dunia akademik lumpuh. Realitas sosial di luar lebih kompleks dan rumit. Apalagi pencerahan yang ditawarkan cuma berbasis ide. Tanpa tahu akar masalah dan kebutuhan orang kampung. Tanpa tahu kearifan, tradisi dan budaya mereka. Wajar jika kemudian lumpuh, karena kampus memang faktanya jauh sekali berjarak dengan kehidupan masyarakat di luar kampus, apalagi dengan orang kampung.
Pada akhirnya muncul kesadaran terbalik. Yang mencerahkan itu orang kampung. Melalui pengalaman bergaul sehari-hari kesombongan mulai sirna. Merekalah sebenarnya guru. Guru kehidupan yang dijalani dengan penuh optimis, sederhana, dan bergairah. Adakah orang kota yang bisa membayangkan, orang kampung punya uang 10 ribu tapi mereka bisa tersenyum bahagia? Masih bisa ngobrol santai dengan para tetangga, tertawa, dan bahkan secara sukarela membantu tetangga yang kesusahan?
Mareka melakoni hidup pelan-pelan. Santai. Tak terburu-buru. Tak dikejar waktu sebagaimana orang kota. Di sawah mereka bisa ngobrol asyik. Ada yang bincang-bincang di pinggir jalan. Ada yang main ke tetangga ngobrol panjang sambil berbagi rokok sekaligus kopi. Merekalah yang mengendalikan waktu, kapan mau bekerja kapan santai. Persis seperti tim sepakbola yang pinter memainkan tempo, kapan menyerang kapan bertahan.
Pelan-pelan itu bukan lelet. Lelet tenggelam dalam waktu. Terburu-buru dan sibuk sepanjang waktu (ngoyo dalam bahasa jawa) hakikatnya dikendalikan waktu. Jadi budak waktu, bukan majikan waktu. Nah, orang desa tidak lelet juga tidak ngoyo. Mereka menikmati waktu dengan pelan-pelan. Seolah rangkaian fragmen hidup dinikmati seperti menghirup aroma kopi dan kemudian menghirupnya pelan-pelan, menyeruputnya dengan penuh gairah dan kebahagiaan.
Bahwa mereka tengah mengalami kesulitan hidup itu betul. Hasil pertanian mereka ketika panen harganya sangat murah. Para nelayan makin sulit karena pesisir bannyak dialihfungsikan-lahankan. Cuma orang kampung tak seperti akademisi yang menelisik kesulitan hidup mereka dengan meletakkan pada rakusnya sistem ekonomi kita yang kapitalistik. Barbar.
Tapi mereka sebenarnya tahu, dengan bahasa sendiri bahwa kehidupan tidak adil. Para elit mempermainkannya. Dalam bahasa Madura, “juko’ kene’ pakanna juko’ raje” (ikan kecil jadi mangsanya ikan besar). Cuma mereka tidak bisa sibuk terus memikirkannya, menganalisisnya, mendiskusikannya. Bukan karena mereka tidak tertarik. Tapi tak ada waktu. Mereka harus survive. Selebihnya waktu digunakan untuk menjalin relasi sosial dengan masyarakat lainnya. Sambil memelihara kebahagian sejati yang sudah jadi karakternya. Itulah mengapa mereka tetap tersenyum meski di kantong hari itu hanya ada 10 ribu rupiah.
Kehidupan desa seperti ini mahal harganya. Entah 20 tahun lagi masihkah bisa bertahan? Karena nampak sekali perubahan hari ini akibat desakan dan kekuatan supra desa, terutama kekuatan ekonomi-politik yang didesain negara pro pasar. Para elit sibuk merancang bagaimana investasi merasuk hingga jantung pedesaan atau perkampungan. Sambil diiringi khotbah bahwa investasi itu akan memberi lapangan pekerjaan pada penduduk desa. Meski harus diakui, khotbah itu jauh panggang dari api.
Memang, kebebasan politik diberikan. Orang desa tidak takut lagi menentukan pilihan politiknya seperti di era Orde Baru. Cuma desain politik yang liberal, tak memungkinkan bagi masyarakat desa memilih pemimpin sesuai harapan. Semuanya sudah dianggap “tekke’ sarongkang” atau setali tiga uang, sekedar menjadikan rakyat sebagai lumbung suara. Sementara sistem ekonomi kita didesain pro pasar yamg makin menjauhkan orang-orang desa dari sumber ekonomi, justru di kampungnya sendiri.
Jika kekesalan saya harus dilampiaskan, tentu saya arahkan pada negara. Kekuatan supra desa saat ini makin mengacak-acak sumber-sumber ekonomi-politik orang desa. Persekongkolan elit politik dan ekonomi yang mendesain kebijakan pro pasar telah menghabisi tanah, pesisir, air, batu karst, batu bara, migas, dan seluruh SDA yang ada di desa. Tokoh-tokoh informal di desa digerogoti kekuatannya oleh elit politik-ekonomi bahkan kalau perlu dipecah belah.
Merengek-rengek agar negara berbaik hati memikirkan betul desa, memagari sumberdaya alamnya, eksosistemnya, budayanya dan mengawal sumber-sumber ekonominya juga tak mungkin. Maka, orang desa sendiri yang harus menjaga “keasyikan hidupnya”. Dan di beberapa desa kesadaran itu sudah menggeliat.
Sumenep, 11 Juni 2021
*A. Dardiri Zubairi, Penulis buku Wajah Islam Madura. Mengabdi di Pondok Pesantren Nasyatul Muta’allimin Gapura Sumenep.
(Sumber: Facebook A. Daridiri Zubairi)